Implikasi Paradigma Pembangunan pada Penyuluhan



Menurut Korten (1984), masa pascaindustri akan menghadapi kondisi-kondisi baru yang sama sekali berbeda dengan kondisi di masa industri, di mana potensi-potensi baru penting dewasa ini memperkokoh kesejahteraan, keadilan, dan kelestarian umat manusia. Titik pusat perhatian adalah pada pendekatan ke arah pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat. Tetapi, untuk mewujudkan potensi, tindakan-tindakan pembangunan yang membentuk masa pancaindustri itu harus dituntun oleh suatu paradigma baru yang didasarkan pada gagasan dan nilai-nilai, teknik sosial, dan teknologi alternatif.
Ada alasan untuk yakin bahwa paradigma seperti itu dewasa ini sedang muncul dari proses penemuan sosial kolektif sedunia. Logika paradigma ini yang menonjol adalah logika lingkungan hidup manusia yang berimbang; sumberdayanya yang dominan adalah sumberdaya informasi, dan prakarsa yang kreatif yang tak kunjung habis; dan sasarannya yang dominan adalah pertumbuhan umat manusia yang dirumuskan dalam rangka lebih terealisasinya potensi umat manusia. Individu bukanlah sebagai objek, melainkan berperan sebagai pelaku, yang menentukan tujuan, mengontrol sumberdaya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi hidupnya sendiri. Pembangunan yang memihak rakyat, menekankan nilai pentingnya prakarsa dan perbedaan lokal. Karenanya, pembangunan seperti itu mementingkan sistem swaorganisasi yang dikembangkan di sekitar satuan-satuan organisasi berskala manusia dan masyarakat yang berswadaya.
Kesejahteraan dan realisasi diri manusia merupakan jantung konsep pembangunan yang memihak rakyat. Perasaan diri berharga yang diturunkan dari keikutsertaan dalam kegiatan produksi adalah sama pentingnya bagi pencapaian mutu hidup yang tinggi dengan keikutsertaan dalam konsumsi produk-produknya. Keefisienan sistem produksi, karenanya, haruslah tidak sematamata dinilai berdasar produk-produknya, melainkan juga berdasar mutu kerja sebagai sumber penghidupan yang disediakan bagi para pesertanya, dan berdasar kemampuannya menyertakan segenap anggota masyarakat. Salah satu perbedaan penting antara pembangunan yang memihak rakyat dan pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua itu secara terus-menerus menundukkan kebutuhan rakyat di bawah kebutuhan sistem agar sistem produkasi tunduk kepada kebutuhan rakyat (Korten, 1984).
Perbedaan paradigma pembangunan yang mementingkan produksi yang dewasa ini unggul dan pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat sebagai tandingnya mengandung arti penting bagi penciptaan masa depan yang lebih manusiawi khususnya pemaham akan perbedaan itu penting artinya bagi pemilihan teknik sosial termasuk bagaimana penyuluhan dilakukan yang tepat untuk mencapai tujuan-tujuan yang mementingkan rakyat.
Kegiatan penyuluhan pembangunan harus mampu mengembangkan teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat. Menurut Sikhondze (1999), orientasi penyuluhan haruslah membantu petani (sasaran) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada sasaran penyuluhan dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk pelayanan individu maupun kelompok. Peran penyuluhan dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu peran konsultan, peran pembimbingan, dan peran penyampai informasi. Ketiga peran tersebut terkait dengan peran difusi inovasi dan proses adopsi dalam penyuluhan.
Pilihan terhadap paradigma dan teori pembangunan adalah selalu dikaitkan dengan teori mana yang akan berakibat pada terciptanya emansipasi dan penciptaan hubungan-hubungan yang secara mendasar lebih baik. Oleh karena itu, memilih paradigma dan teori pembangunan itu sendiri adalah suatu pemihakan dan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang kita anut, karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat dihindarkan.

Misalnya, untuk mengatasi masalah kemiskinan dan keterbelakangan rakyat, formula-formula yang selama ini digunakan dapat dipandang tidak kurang dapat mengatasi masalah kemiskinan, namun justru menciptakan kemiskinan massal. Oleh sebab itu, tuntutan untuk mencapai dan mengembangkan paradigma baru sangat mendesak untuk dilakukan secara lebih intensif dan serius guna perbaikan yang lebih baik di masa datang. Kegagalan dalammerumuskan dan mengembangkan paradigma baru dalam pembangunan ekonomi yang lebih demokratis dan menjamin kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat banyak akan memperpanjang penderitaan bangsa dalam proses pembangunan itu.
Dalam rangka mencari solusi masalah ekonomi dan politik serta budaya yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, semua pihak telah memberikan rambu-rambu untuk tidak terjebak membuat ‘bungkus baru namun isi lama’. Dari berbagai tawaran alternatif model pemberdayaan masyarakat, ‘model ekonomi kerakyatan’ secara teoretis telah berkembang menjadi wacana baru saat ini. Paradigma pemberdayaan ekonomi rakyat sebenarnya bukan saja berupa tuntutan atas pembagian secara adil aset ekonomi, tetapi juga merupakan keniscayaan ideologis dengan semangat meruntuhkan dominasi-dominasi birokrasi dalam mengatur dan menentukan kehidupan rakyat (Sasono, 1999).
Gagasan pemberdayaan ekonomi rakyat, menurut Mahmudi (1999), merupakan upaya mendorong dan melindungi tumbuh dan berkembangnya kekuatan ekonomi lokal dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasiskan para kekuatan rakyat. Muatan gagasan ini tidak saja dituntut untuk dapat mendayagunakan dan menghasilgunakan potensi sumberdaya lokal untuk kepentingan kesejahteraan rakyat, tetapi juga terlindungnya hak-hak rakyat dalam pengelolaan sumber daya lokal sesuai dengan kepentingan ekonomi dan sosialnya. Dengan kata lain, sentralisasi ekonomi bertentangan dengan gagasan dasar pemberdayaan ekonomi rakyat. Untuk itu, perlu dipilih pendekatan dan strategi yang tepat.
Strategi pembangunan menentukan strategi komunikasi, maka makna komunikasi pembangunan pun bergantung pada modal atau paradigma pembangunan yang dipilih oleh suatu negara. Peranan komunikasi pembangunan telah banyak dibicarakan oleh para ahli, pada umumnya mereka sepakat bahwa komunikasi mempunyai andil penting dalam pembangunan. Everett M. Rogers (1985) menyatakan bahwa, secara sederhana pembangunan adalah perubahan yang berguna menuju suatu sistem sosial dan ekonomi yang diputuskan sebagai kehendak dari suatu bangsa. Pada bagian lain Rogers menyatakan bahwa komunikasi merupakan dasar dari perubahan sosial.
Perubahan yang dikehendaki dalam pembangunan tentunya perubahan ke arah yang lebih baik atau lebih maju keadaan sebelumnya. Oleh karena itu peranan komunikasi dalam pembangunan harus dikaitkan dengan arah perubahan tersebut. Artinya kegiatan komunikasi harus mampu mengantisipasi gerak pembangunan. Dikatakan bahwa pembangunan adalah merupakan proses, yang penekanannya pada keselarasan antara aspek kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Jika dilihat dari segi ilmu komunikasi yang juga mempelajari masalah proses, yaitu proses penyampaian pesan seseorang kepada orang lain untuk merubah sikap, pendapat dan perilakunya. Dengan demikian pembangunan pada dasarnya melibatkan minimal tiga komponen, yakni komunikator pembangunan, bisa aparat pemerintah ataupun masyarakat, pesan pembangunan yang berisi ide-ide atau pun program-program pembangunan, dan komunikan pembangunan, yaitu masyarakat luas, baik penduduk desa atau kota yang menjadi sasaran pembangunan.
Dengan demikian pembangunan di Indonesia adalah rangka pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia, harus bersifat pragmatik yaitu suatu pola yang membangkitkan inovasi bagi masa kini dan yang akan datang. Dalam hal ini tentunya fungsi komunikasi harus berada di garis depan untuk merubah sikap dan perilaku manusia Indonesia sebagai pemeran utama pembangunan, baik sebagai subjek maupun sebagai objek pembangunan. Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan konsep komunikasi pembangunan, maka dapat dilihat dalam arti luas dan terbatas. Dalam arti luas, komunikasi pembangunan meliputi peran dan fungsi komunikasi sebagai suatu aktivitas pertukaran pesan secara timbal balik di antara masyarakat dengan pemerintah, dimulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan. Sedangkan dalam arti terbatas, komunikasi pembangunan merupakan segala upaya dan cara serta teknik penyampaian gagasan dan ketrampilan pembangunan yang berasal dari pihak yang memprakarsai pembangunan dan diwujudkan pada masyarakat yang menjadi sasaran dapat memahami, menerima dan berpartisipasi dalam pembangunan.
Rogers (1976) mengatakan komunikasi tetap dianggap sebagai perpanjangan tangan para perencana pemerintah, dan fungsi utamanya adalah untuk mendapatkan dukungan masyarakat dan partisipasi mereka dalam pelaksanaan rencana-rencana pembangunan. Dari pendapat Rogers ini jelas bahwa setiap pembangunan dalam suatu bangsa memegang peranan penting. Dan karenanya pemerintah dalam melancarkan komunikasinya perlu memperhatikan strategi apa yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan sehingga efek yang diharapkan itu sesuai dengan harapan. Para ahli komunikasi terutama di negara-negara berkembang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap strategi komunikasi dalam hubungannya dengan penggiatan pembangunan nasional di negara-negara masing-masing.
Fokus perhatian ahli komunikasi ini memang penting karena efektivitas komunikasi bergantung pada strategi komunikasi yang digunakan. Effendy (1993) mengatakan strategi baik secara makro (planned multimedia strategy) mempunyai fungsi ganda yaitu :
1. Menyebarluaskan pesan komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal.
2. Menjembatani ”cultural gap” akibat kemudahan diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media massa yang begitu ampuh, yang jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai budaya.
Dalam strategi komunikasi mengenai isi pesan tentu sangat menentukan efektivitas komunikasi. Wilbur Schramm (dalam Effendy, 1981) mengatakan bahwa agar komunikasi yang dilancarkan dapat lebih efektif, maka pesan yang disampaikan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian sasaran dimaksud.
2. Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran, sehingga sama-sama dapat dimengerti.
3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi pihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
4. Pesan harus menyarankan sesuatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok di mana sasaran berada pada saat ia gerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.