Lembaga Penyuluh Pertanian



Sejarah penyuluhan di Indonesia, menurut Pambudy (1998), dapat dibagi atas lima tahapan perkembangan yang sejalan dengan perkembangan pembangunan pertanian yaitu: pertama, penyuluhan pertanian sebelum 1945; kedua, perkembangan tahun 1945-1969; ketiga, pada zaman Orde Baru sampai 1984; keempat, antara tahun 1984-1988; dan kelima, penyuluhan pertanian Pembangunan Jangka Panjang II.
Penyuluhan Pertanian Tahun 1945-1969.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan (1945-1950), dikembangkan Plan Kasimo yang merupakan
rencana produksi pertanian tiga tahun (1948-1950), namun dinyatakan gagal karena diganggu oleh gejolak revolusi fisik. Setelah adanya pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (1950-1959), penyuluhan pertanian ditata lebih sistematik dan Plan Kasimo yang belum sempat dilaksanakan, diganti dengan Rencana Wacaksono, kemudian menjadi Rencan Kesejahteraan Istimewa (RKI) yang bertujuan: (1) memperbanyak produksi benih unggul dengan menambah Balai Benih dan Kebun Bibit; (2) perbaikan dan perluasan pengairan pedesaan; (3) peningkatan penggunaan pupuk; (4) peningkatan pemberantasan hama; dan (5) meningkatkan pendidikan masyarakat pedesaan dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD).

Penyuluhan Pertanian pada PJPT I.
Pada tahun 1970, gerakan ini ditingkatkan menjadi Gerakan Swasembada Bahan Makanan (GSBM). Pada masa ini, telah muncul gagasan untuk mengembalikan konsep Penyuluhan Pertanian dengan asas-asas kesukarelaan, otoaktivitas, demokratis, dan lain-lain yang dikomandoi oleh Departemen Pertanian dengan berbagai pihak, yaitu Pelaksana Penyuluh Pertanian, Jawatan Pertanian Rakyat, Fakultas-Fakultas Pertanian, Organisasi Masa Tani, dan tokoh-tokoh penyuluhan pertanian kala itu dengan dua tujuan utama, yaitu: memprogresifkan pendekatan penyuluhan, dan membangun organisasi penyuluhan pertanian.

Pada Repelita I (1969-1974)
penyuluh pertanian ditata sistematik dan dirintis untuk dipisahkan dengan tugas-tugas pengaturan dan pelayanan. Sejalan dengan tujuan Repelita ini, bidang pertanian dijadikan sebagai titik sentral pembangunan nasional, dengan sasaran utama swasembada pangan, khususnya beras. Melalui peningkatan kemampuan aparat penyuluh, maka diangkat tenaga sarjana pertanian menjadi Penyuluh Pertanian Spesialis (PPS), sarjana muda menjadi Penyuluh Pertanian Madya (PPM), dan lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) menjadi Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), sebagai Pegawai Negeri Sipil Pusat dengan tugas utama menyukseskan pembangunan pertanian dengan tidak semata-mata menyuluh melainkan juga melaksanakan pelayanan, khususnya petani peserta Bimas dalam hal perencanaan produksi, kredit, penyaluran, dan penagihan kredit.

Pada Repelita II (1974-1979)
ditandai dengan adanya pemantapan organisasi penyuluhan yakni pemisahan fungsi-fungsi pengaturan dan pelayanan berdasar Kepres No. 44 dan 45 serta SK Mentan No. 468/Kpts/Org/12/1975 tanggal 25 Desember 1975 yang menyatakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab pembinaan teknis penyelenggaraan pendidikan latihan dan penyuluhan pertanian yang berada di daerah, beralih dari semua Direktorat Jenderal Lingkungan Departemen Pertanian kepada Badan Pendidikan, Latihan, dan Penyuluhan Pertanian (Diklatluh), Departemen Pertanian (BPLPP).

Pada Repelita III (1979-1984)
Fenomena penting bagi penataan penyuluhan pertanian adalah Organisasi Departemen Pertanian diperluas, yakni dibentuk Direktorat Penyuluhan di tiap Direktorat Jenderal. di samping telah ada Badan Pendidikan, Latihan, dan Penyuluhan Pertanian. Sejak 1983, di tingkat pusat , terdapat Direktorat Penyuluhan Pertanian Tanaman Pangan, Perkebunan, Periklanan, dan Direktorat Penyuluhan Perternakan yang dikoordinasikan oleh Diklatluh.

Pada Repelita IV (1984-1988) dan Repelita V (1989-1993)
diadakan penataan kembali, terutama mengenai pedoman penyelenggaraan penyuluhan dan status para penyuluh. Terbitlah pedoman penyelenggaraan melalui SK Mentan No. 482/Kpts/LP.120/7/1985; SK Mentan No. 143/Kpts/LP.120/3/1985 dan pedoman pelaksanaannya dikeluarkan oleh Diklatluh.

Penyuluhan Pertanian pada PJPT II.
Jika dikaitkan dengan perkembangan pembangunan, khususnya kemajuan teknologi dan system pemasaran global, meningkatnya daya saing produk pertanian serta makin terbatasnya lahan pertanian, sistem penyuluhan pertanian dalam pembangunan pertanian mengalami perubahan. Penyuluhan pertanian tetap dianggap sebagai sistem pendidikan nonformal di bidang pertanian untuk petani-peternak-nelayan dan keluarganya. Ditekankan bahwa informasi pertanian merupakan suatu data atau bahan yang diperlukan penyuluh pertanian, petani-peternak-nelayan dan masyarakat pertanian. Balai Informasi dan Penyuluhan Pertanian (BIPP) adalah unit kerja penyuluhan pertanian yang merupakan unit kerja organik yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) adalah instansi BIPP yang mempunyai tugas menyusun program penyuluhan, membimbing penyusunan rencana kerja penyuluh, dan melakukan kegiatan penyuluhan pertanian di kecamatan. Kini, tidak saja Departemen Pertanian yang menjalankan tugas-tugas penyuluhan dan memiliki tenaga fungsional penyuluh, antara lain: bidang perindustrian, bidang kependudukan dan KB, bidang hukum, bidang kesehatan dan gizi, dan sebagainya. Perkembangan kegiatan penyuluhan telah merambah hampir ke semua sector pembangunan di Indonesia.