Produksi Bioflavor oleh Kluyveromyces marxianus



Senyawa flavor (aroma dan citarasa) sangat penting dan menentukan perkembangan industri makanan dan minuman. Senyawa flavor termasuk ke dalam bahan tambahan makanan yang digunakan untuk memperbaiki mutu sensoris makanan. Senyawa flavor dibagi menjadi dua, yaitu senyawa flavor alami dan senyawa flavor sintesis. Pada dekade belakangan ini, penggunaan senyawa flavor alami lebih disukai karena adanya kekhawatiran konsumen akan bahaya penggunaan senyawa flavor sintesis terhadap kesehatan (Schrader, 2007).
Senyawa flavor alami dapat diperoleh melalui ekstraksi dan isolasi senyawa flavor dari tanaman, namun proses ini sering mengalami beberpa kendala, yaitu biaya yang tinggi dan hasil ekstraksi yang rendah (Brenna, 2005; Serra et al., 2005). Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mengarah pada teknik biologi molekuler dan rekayasa proses dengan menggunakan sel mikrobia (whole-cell biocatalysis) yang mampu memproduksi senyawa flavor lebih efektif dan efisien. Produk flavor alami yang dihasilkan dari proses ini biasa disebut dengan bioflavor. Salah satu senyawa flavor yang penting adalah 2-phenylethanol (Clark, 1990; Schrader et al., 2004). 

Mikrobia yang sering digunakan untuk memproduksi bioflavor adalah yeast. Hal ini disebabkan oleh yeast adalah mikrobia yang dapat mengubah karbohidrat sederhana menjadi berbagai molekul kompleks, termasuk senyawa bioflavor, melalui reaksi katalis enzimatik (Carlquist et al., 2015). Berbagai jenis yeast diketahui mampu menghasilkan senyawa bioflavor, salah satunya adalah Kluyveromyces marxianus yang mampu memproduksi 2-phenylethanol (Fabre et al., 1998).

            2-phenylethanol adalah alkohol aromatik. Senyawa ini secara alami ada dalam minyak esensial dari berbagai bunga, misalnya bunga mawar, bakung, melati, dan lili (Etschmann et al., 2004). Menurut Fabre et al., (1998) 2-phenylethanol mempunyai citarasa dan bau manis seperti bunga mawar. Sebagai flavor alami, 2-phenylethanol dapat diaplikasikan pada produk pangan, seperti soft drink, permen, es krim, gelatin, puding, permen karet, dan kukis (Wittmann et al., 2002).

2-phenylethanol dapat dihasilkan dari fermentasi oleh berbagai yeast, diantaranya adalah Saccharomyces cerevisiae (Stark et al., 2003), Kluyveromyces marxianus (Gao & Daugulis, 2009), Pichia fermentans (Huang et al., 2001), Zygosaccharomyces rouxii (Aoki & Uchida, 1990), Yarrowia lipolytica (Celinska et al., 2013). Keuntungan dari produksi 2-phenylethanol yang dilakukan oleh yeast adalah (1) produk yang dihasilkan sebagai produk alami yang penggunaannya aman diperbolehkan untuk makanan (2) bahan mentahnya lebih efisien dari segi biaya jika dibandingkan dengan ekstrak dari tanaman, (3) proses produksinya singkat, (4) mudah dikontrol dalam proses produksinya (Wang et al., 2011).

Salah satu yeast yang dipilih untuk memproduksi 2-phenylethanol adalah Kluyveromyces marxianus. Yeast ini merupakan yeast non patogen yang berpotensi tinggi untuk menghasilkan produk bioteknologi dengan sifat mempunyai laju pertumbuhan spesifik yang tinggi dan mempunyai kemampuan untuk menggunakan spektrum substrat yang luas (Guneser et al., 2015). Selain itu, menurut Fonsesca et al., K. marxianus juga termasuk mikrobia yang berstatus aman (Generally Regarded as Safe/GRAS).
 
Produksi 2-phenylethanol oleh yeast, termasuk K. marxianus biasanya dilakukan dengan jalur biosintesis dari katabolisme L-phenilalanine melalui Ehrlich patway (Hazelwood et al., 2008). Produk yang dihasilkan, yaitu 2-phenylethanol dapat meracuni sel K.marxianus itu sendiri. Fabre et al. (1998) menyatakan bahwa pertumbuhan sel K.marxianus sudah terhambat pada konsentrasi 2 g/liter, akan tetapi sensitivitas terhadap 2-phenylethanol untuk masing-masing jenis strain K.marxianus berbeda-beda.

            Beberapa strategi dilakukan untuk meningkatkan produksi 2-phenylethanol oleh K.marxianus agar lebih efektif dan efisien, diantaranya adalah dengan melakukan screening terhadap strain unggul (Etschmann, 2003), melakukan optimasi kondisi medium (Etschmann et al., 2004), melakukan teknik in situ produk removal (ISPR) untuk mengatasi cytotoxicity (Gao & Daugulis, 2009), atau dengan melakukan rekayasa genetika untuk meningkatkan produksi 2-phenylethanol (Kim et al., 2014)