kasus yang ditangani Mahkamah Internasional



Sengketa Perairan Ambalat

Sengketa perairan dengan negeri jiran Malaysia kembali terjadi. Setelah pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke Malaysia, kini Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai milik mereka. Ambalat adalah sebuah blok yang kaya akan sumber daya minyak. Ambalat diklaim oleh pihak Malaysia setelah pengadilan Internasional memberikan pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia. Yang unik adalah pengadilan Internasional membuat keputusan tersebut karena pihak Malaysia terlihat serius untuk memiliki Sipadan dan Ligitan. Sedangkan Indonesia sendiri sudah serius mengelola blok Ambalat sejak tahun 80-an tanpa ada protes dari pihak Malaysia.
Indonesia harus belajar dari pengalaman kasus Sipadan dan Ligitan. Pada waktu itu pihak Malaysia terus membangun fasilitas-fasilitas di Pulau Sipadan tanpa mempedulikan Mahkamah Internasional yang menginstruksikan kedua belah pihak untuk tidak menyentuh Sipadan dan Ligitan sampai ada keputusan. Indonesia mengikuti instruksi tersebut, sedangkan Malaysia tidak menggubrisnya dan bahkan menjadikan Sipadan sebagai daerah tujuan wisata. Akhirnya Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan sikap ketertarikan kepada Sipadan dan Ligitan.

Pada kasus Ambalat, Indonesia berada di atas angin karena sudah mengeksploitasi daerah tersebut sejak tahun 80-an. Ini tentunya menunjukkan keseriusan Indonesia untuk mengelola daerah tersebut. Selain itu, Indonesia memiliki keuntungan karena merupakan Negara kepulauan yang memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh negara pantai seperti Malaysia. Klaim Malaysia sendiri baru diketahui dunia akhir-akhir ini dari perjanjian dari Malaysia untuk menyerahkan penggalian sumber daya minyak di sektor Ambalat kepada Shell.

Indonesia juga harus belajar dari pengalaman kasus Timor Leste. Pelajaran yang berharga adalah bahwa negara tetangga akan melakukan apapun untuk memperoleh minyak Indonesia. Saat itu Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur atas nama hak asasi manusia. Namun belakangan Australia menusuk dari belakang dengan mengambil alih sebagian besar sumber daya minyak, sumber daya alam satu-satunya milik Timor Leste. Kini Timor Leste
menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Selain dengan Indonesia, Malaysia juga pernah memiliki sengketa wilayah dengan Thailand.

Masalah ini bisa diselesaikan kedua pihak dengan mengelola daerah tersebut bersama-sama. Selain itu, Malaysia juga memiliki sengketa yang belum selesai dengan Brunei Darussalam, lagi-lagi juga bertemakan minyak. Belum termasuk sengketa rumit kepulauan Spratly yang melibatkan tak kurang dari 6 negara.

Sengketa Sipadan dan Ligitan

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E /4 .1146833°N 118.6287556°E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E /4 .15°N 118.883°E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997., sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia.

Keputusan Mahkamah Internasional, pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

Sengketa Batas Maritim di Teluk Bengal

Pada tanggal 16 Desember 2009, the International Tribunal for the Law of the Sea-ITLOS (selanjutnya disebut Tribunal) mengumumkan bahwa baru saja menerima berkas sengketa batas maritim antar negara untuk diselesaikan. Sengketa tersebut melibatkan dua Negara bertetangga di perairan Teluk Bengal, yaitu Banglades dan Myanmar. Di luar itu, perlu dicatat bahwa Banglades juga sedang mempersiapkan pengajuan sengketa batas maritimnya dengan India ke Mahkamah Internasional. Ada beberapa hal menarik yang bisa dicermati dari sengketa-sengketa ini.

Pertama, kasus antara Banglades dan Myanmar menjadi kasus delimitasi batas maritim pertama yang ditangani oleh Tribunal. Sebelumnya Tribunal telah menerima dan menyelesaikan 15 kasus di bidang hukum laut internasional. Sebagai latar belakang, Tribunal dibentuk sebagai bagian dari tindak lanjut lahirnya Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) yang mana Tribunal memiliki kompetensi untuk menyelesaikan berbagai sengketa terkait hukum laut internasional.

Kedua, Myanmar menjadi negara anggota ASEAN pertama yang sepakat dan memilih untuk menyelesaikan sengketa batas maritimnya melalui jalur mahkamah internasional. Sebagai catatan, beberapa negara ASEAN pernah bersengketa di mahkamah Internasional terkait masalah kelautan dan kedaulatan, namun tidak pernah terkait batas maritim. Sebagai contoh adalah Malaysia dan Singapura yang pernah bersengketa di Tribunal tentang reklamasi pantai Singapura dan di Mahkamah terkait kedaulatan beberapa karang dan elevasi surut di Selat Singapura.

Ketiga, sengketa antara Banglades, India dan Myanmar pada dasarnya bermula dari usaha kedua negara untuk menguasai sebagian perairan di Teluk Bengal yang sangat kaya dengan cadangan minyak dan gas. Kedua negara telah menetapkan beberapa zona blok konsesi migas di perairan yang mereka klaim, yang tentunya tidak diakui oleh pihak lainnya. Lebih jauh lagi, juga dalam rangka mengamankan cadangan gas dan minyak di perairan tersebut, para pihak juga melakukannya melalui forum internasional. Sebagai contoh adalah India telah menyampaikan hak berdaulatnya terhadap wilayah dasar laut (landas kontinen) di luar 200 mil laut dari garis pangkal kepada PBB. Hal ini tentunya menuai keberatan dari Banglades yang langsung menyampaikan keberatannya kepada PBB. Myanmar juga telah menyampaikan hal yang sama atas landas kontinen ke PBB yang juga telah menuai keberatan dari Banglades. Banglades sendiri pada saat ini sedang mempersiapkan pengajuannya kepada PBB dengan melakukan survey dasar laut di Teluk Bengal dengan dana sampai dengan 11,77 juta dollar Amerika. Banglades berencana menyampaikan pengajuannya ke PBB pada tahun 2011 yang kemungkinan juga akan diprotes oleh India dan Myanmar bila sengketa belum terselesaikan.

Keempat, dari sisi konfigurasi geografis Teluk Bengal, hal ini mengingatkan para praktisi dan pengamat masalah batas maritim terhadap sengketa batas yang terjadi pada 1969 antara Jerman, Belanda dan Denmark. Kasus ini lebih terkenal disebut sebagai North Sea Case. Dalam kasus tersebut, para pihak meminta mahkamah untuk memutuskan apakah prinsip penarikan garis batas melalui metode sama jarak mutlak harus dilakukan. Jerman yang posisi geografisnya terjepit di antara Belanda dan Denmark melihat bahwa prinsip tersebut sangat tidak menguntungkan baginya. Hal ini karena apabila prinsip tersebut diberlakukan, maka wilayah perairan Jerman akan sangat sempit dan tertutup tanpa akses ke laut bebas oleh perairan Belanda dan Denmark. Pada keputusannya, mahkamah merestui pendapat Jerman dan menyatakan bahwa metode sama jarak tidak mutlak dilakukan. Keputusan ini menjadi tonggak lahirnya prinsip solusi yang adil atau equitable solution di dalam hukum delimitasi batas laut internasional.

Terlepas bahwa setiap wilayah maritim memiliki karakteristik yang berbeda, posisi geografis Banglades yang terjepit diantara India dan Myanmar tentunya hampir sama dengan apa yang dihadapi Jerman pada 1969. Hal ini pula yang memberi gambaran secara teknis rumitnya perundingan antara Banglades dengan India dan Myanmar. Mencari solusi yang adil tentunya jauh lebih sulit daripada menentukan garis tengah sebagai batas karena definisi dan standar adil tentunya berbeda bagi para pihak yang terlibat. Hal ini yang menjadi tantangan berat bagi Tribunal. Akan sangat menarik melihat bagaimana Tribunal mengaplikasikan equitable
solution pada kasus ini.

Kelima, Myanmar dan Banglades telah melakukan perundingan bilateral untuk menetapkan batas diantara mereka selama lebih kurang 35 tahun. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa perundingan batas maritim antar negara adakalanya dapat memakan waktu yang cukup lama dan belum tentu menghasilkan garis batas yang diterima para pihak. Sangat mungkin satusatunya kesepakatan yang dicapai adalah kesepakatan untuk mencari penyelesaian melalui pihak ketiga, termasuk melalui Tribunal atau mahkamah internasional lainnya.

Yang perlu digaris bawahi adalah keputusan untuk menyelesaikan sengketa batas maritim melalui jalur pihak ketiga, seperti apa yang dilakukan Banglades dan Myanmar, seyogyanya tidak dilihat sebagai rusaknya hubungan persahabatan antara para pihak yang bersengketa. Hal ini haruslah dilihat sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa dengan cara-cara damai sebagaimana yang diamanatkan oleh Piagam PBB demi menjaga perdamaian antara para pihak secara khusus dan dunia secara umum.