Tuntutan Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan yang dijalankan di Indonesia
sejak tahun 1970-an hingga sekarang masih cenderung fokus pada pembangunan
ekonomi, bahkan pada pertumbuhan ekonomi yang cenderung jangka pendek. Sehingga
masalah keberlanjutan belum menjadi prioritas utama. Oleh karena itu tidak
mengherankan jika pertumbuhan ekonomi pun kualitasnya semakin memburuk. Apalagi
dengan keterbatasan APBN dan sumber daya yang kita miliki, sehingga tidak
mengherankan apabila pengambil kebijakan lebih memilih jalan pintas, yang cepat
kelihatan hasilnya, kurang memperhatikan keberlanjutannya.
Padahal pembangunan berkelanjutan sudah
menjadi tuntutan bagi pengambil kebijakan pembangunan dalam bumi yang semakin
rusak ini. Namun demikian lingkungan hidup tidak mendapatkan banyak perhatian
sejak lama baik pada skala global, regional ataupun negara. Apalagi negara
sedang berkembang yang tengah banyak menghadapi permasalahan ekonomi seperti
Indonesia. Sehingga degadrasi lingkungan telah banyak menurunkan kualitas hidup
masyarakat, khususnya di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Oleh
karena itulah masyarakat dunia sejak tahun 1970-an mulai memberikan perhatian
yang besar pada masalah lingkungan, dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan.
Hal itu dapat dilihat diantaranya dari Stockholm Conference (1972), Agenda 21
di Rio Earth Summit (1992), dan Johannesburg Declaration (2002).
Meski komitmen dan perhatian besar telah
diberikan pada tingkat internasional, namun kondisi lingkungan hidup masih saja
memburuk. Kita sekarang masih hidup dalam kondisi yang dapat merusak lingkungan
hidup semakin parah, sehingga akan membahayakan kehidupan umat manusia pada
masa mendatang. Oleh karena itulah usaha untuk menjaga lingkungan hidup agar pembangunan
dapat berkelanjutan sehingga kepentingan kehidupan generasi yang akan datang
terproteksi, menjadi semakin penting untuk diperjuangkan. Dengan demikian perlu
adanya jaminan agar supaya dalam memenuhi kebutuhan sekarang kita tidak akan
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya.
Dalam perkembangannya disadari bahwa
pembangunan berkelanjutan tidak hanya terkait dengan aspek lingkungan hidup,
namun juga pembangunan ekonomi dan sosial yang dikenal dengan the living triangle.
Tidaklah mungkin lingkungan dapat dijaga dengan baik bila kondisi sosial dan
ekonomi masyarakat buruk. Oleh karena itulah dalam rangka melestarikan
lingkungan hidup kita secara berkelanjutan, pembangunan ekonomi dan sosial yang
berkelanjutan juga perlu dilakukan. Tidaklah mungkin masyarakat yang untuk
hidup saja sulit akan dapat menjaga lingkungannya dengan baik. Perhatian dan
komitmen yang besar masyarakat internasional pada pembangunan berkelanjutan
khususnya dari negera maju dalam beberapa conference adalah cukup besar. Namun
demikian dalam implementasinya ternyata jauh dari harapan.
Dapat dilihat bahwa Official Development
Assistance (ODA) yang diberikan negara maju rata-rata hanya sebesar 0,27% dari
PDB mereka pada tahun 1995, turun dari 0,34% pada tahun 1992. Pada tahun 2000
didapati hanya 4 negara yang menandatangi komitmen ODA memenuhi komitmennya.
Hal ini mencerminkan bahwa pembangunan berkelanjutan pada tingkat globalpun
seringkali hanya menjadi retorika politik belaka. Sehingga tidaklah mengherankan
bahwa upaya pembangunan berkelanjutan tidak mudah diimplementasikan (Cooper
& Vargas, 2004).
Rendahnya komitmen negara maju dalam memenuhi
komitmennya dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan tentu saja tidak
dapat dipisahkan dengan rendahnya kepentingan negara maju untuk mendukung
pembangunan berkelanjuitan global. Hal ini tentu saja erat kaitannya dengan
kalahnya prioritas menjaga lingkungan dengan masalah aktual seperti
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi taupun menjaga agar dunia usaha dari
negaranya yang banyak diwakili oleh TNCs terus berkembang dalam pasar global.
Tingginya nilai politis dari kepentingan
ekonomi jangka pendek tersebut memang akan mudah membuat politisi baik dari
negara maju ataupun sedang berkembang akan mengedepankan kepentingan jangka
pendek. Selain itu jangan lupa bahwa bargaining power dari bisnis raksasa di
negara maju tentu saja juga besar sekali, sehingga akan mampu mendistorsi
keputusan yang diambil oleh pejabat publik, dapat mengalahkan kepentingan
publik dalam jangka panjang. Hal yang sama juga terjadi di negara kita, dimana
seringkali pengambilan keputusan dibengkokan oleh kepentingan pemodal yang
memiliki kedekatan dengan kekuasaan. Sehingga tidaklah mengherankan jika World
Trade Organization (WTO) yang menawarkan liberalisasi serta akses pasar yang
lebih luas, serta kadang menawarkan solusi yang lebih menarik/menguntungkan
terhadap berbagai isu yang sama (terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan)
dapat menjadi salah satu outlet bagi mereka. Oleh karena itulah dapat dipahami
jika WTO berkembang pesat akhir-¬akhir ini. Sementara pembangunan berkelanjutan
semakin tenggelam ditengah-tengah berbagai kemelut ekonomi yang dihadapi oleh
banyak negara, khususnya negara Selatan.
Prinsip-prinsip ekonomi yang menekankan pada
efisiensi ekonomi dengan maximizing benefit dan minimizing cost dari sudut
pandang teori ekonomi memang sangat rasional. Sehingga dengan ekonomi yang
semakin liberal ekonomi pada akhirnya banyak dikuasai oleh perusahaan
transnational (TNCs) yang banyak beroperasi di negara sedang berkembang, baik
untuk mendapatkan input khususnya sumber daya alam, maupun tenaga kerja murah,
ataupun untuk memperluas pasar produk mereka. Sedangkan bagi negara sedang
berkembang, globalisasi yang menjadikan masyarakatnya menjadi konsumen dari
TNCs, juga menggunakan globalisasi untuk memperluas pasarnya, meskipun biasanya
untuk produk primer ataupun sekunder dengan tingkat teknologi yang rendah.
Sehingga banyak negara sedang berkembang yang terjerat utang ataupun masih harus
berkubang dengan kemiskinan yang kronis. Bahkan Stiglitz dalam bukunya
Globalization and Its Discontent (2002) mengatakan bahwa manfaat dari
globalisasi lebih rendah dari klaim yang selama ini diyakininya, sebab harga
yang harus dibayar juga mahal, karena lingkungan yang semakin rusak, demikian
juga proses politik korup berkembang, dan cepatnya perubahan yang terjadi
membuat masyarakat tidak dapat menyesuaikan budayanya.
Liberalisasi pasar yang semakin melibas
perekonomian di banyak Negara juga telah menghambat pembangunan berkelanjutan.
Martin Khor direktur dari Third World Network melihat bahwa lieberalisasi dan
globalisasi yang menekankan pada "daya saing" telah menghambat
pembangunan berkelanjutan sehingga merusak lingkungan. Liberalisasi dan globalisasi
telah memperburuk lingkungan global karena tidak adanya aturan dan pengawasan
pada TNCs di pasar global sehingga meningkatnya volume bisnis mereka
meningkatkan kerusakan lingkungan. Padahal aktivitas TNCs telah banyak merusak
lingkungan hidup (penghasil lebih dari 50% greenhouse gases). Demikian juga
kebijakan yang liberal dan integrasi pasar telah mendorong peningkatan
eksploitasi dari sumber daya alam seperti hutan dan kelautan sehingga mendorong
kerusakkan lingkungan yang serius.
Selain itu globalisasi mendorong ekplorasi
sumber daya alam yang melampau batas keberlangsungannya seperti air, tanah, dan
mineral, telah banyak merusak lingkungan hidup. Bagi negara seperti Indonesia,
yang baru saja keluar dari krisis ekonomi, serta masih menghadapi banyak
masalah ekonomi dan sosial yang berat, sehingga menghadapi proses globalisasi
baik dalam kerangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) tahun 2010, ASEAN Economic
Community tahun 2015, Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), dan WTO adalah
tidak mudah. Oleh karena itu membangun kembali Indonesia tidaklah mudah pada
saat ini. Apalagi membangun secara berkelanjutan ditengah-tengah pasar yang
semakin liberal.
Potret pembangunan berkelanjutan di Indonesia
tidak jauh berbeda dengan potret internasional, bahkan cenderung lebih buruk.
Meskipun komitmen pemerintah nampaknya cukup besar sejak jaman Orde Baru,
diantaranya dapat dilihat dengan keberadaan Kementrian Negara Lingkungan Hidup
yang tentunya diikuti dengan kebijakan dan anggaran untuk melestarikan
lingkungan hidup. Namun komitmen dan keberadaan kementrian yang menjaga lingkungan
hidup pun ternyata tidak mencukupi. Dapat dilihat dari kerusakkan lingkungan
hidup Indonesia yang masih saja berlanjut, sehingga bencana alam semakin banyak
terjadi di tanah air kita yang tercinta ini. Laut, hutan dan lingkungan hidup
lainnya pada umumnya semakin rusak.
Seperti sudah dibahas sebelumnya bahwa
menjaga lingkungan tidaklah dapat berdiri sendiri. Pembangunan berkelanjutan
dengan melestarikan lingkungan hanya akan berhasil jika dipadukan secara
terintegral dengan pembangunan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan. Oleh
karena itulah perlu kebijakan yang terintegral dalam pembangunan lingkungan
dengan pembangunan ekonomi dan sosial agar dapat memberikan hasil yang optimal.
Meski demikian desain program yang baikpun belum menjamin keberhasilan
pembangunan berkelanjutan. Banyak bukti menunjukkan bahwa keberhasilan
pembangunan berkelanjutan seringkali terganjal oleh kurangnya implementasi yang
baik. Secara prinsip pembangunan berkelanjutan sebenarnya harus terefleksi
dalam cara berfikir, hidup, memerintah dan berbisnis dari seluruh masyarakat.
Oleh karena itulah dalam kerangka mensukseskan pembangunan berkelanjutan banyak
sekali aspek yang perlu dibenahi. Kegagalan implementasi kebijakan, program
ataupun proyek-proyek pada pembangunan berkelanjutan seringkali karena tidak
mempertimbangkan berbagai aspek yang perlu dilihat, baik dari sisi teknis,
legal, fiskal, administrasi, politik, etik dan budaya (Cooper and Vargas,
2004).
Pertanyaannya adalah apakah secara teknis
suatu kebijakan fisibel erat kaitannya dengan apakah kita tahu apa yang perlu
dilakukan, bagaimana caranya? Seringkali tantangannya disini adalah lebih pada
masalah keberlanjutannya suatu kebijakan, dan apa yang dilakukan dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan. Dari sisi legal tentu saja erat kaitannya dengan
apakah secara legal kebijakan ataupun program yang dilakukan tidak melanggar
rambu¬rambu yang ada. Dalam hal ini tantangan yang dihadapi adalah bagaimana kita
mendesain infrastruktur legal yang diperlukan untuk pembangunan berkelanjutan.
Ataupun kasus yang hangat akhir-akhir ini terkait dengan masalah illegal
logging dan penegakkan hukumnya yang dinilai tidak memihak pada lingkungan.
Jelas ini merupakan salah satu masalah terbesar bangsa Indonesia.
Sedangkan dari sisi fiskal, tantangan yang
dihadapi diantaranya adalah bagaimana mendesain kebijakan yang ongkosnya
minimal ditengah beban fiskal yang berat untuk membayar hutang. Oleh karena itu
dana untuk melaksanakan program pembangunan terbatas, sehingga perlu terobosan
agar supaya secara fiskal baik dari sisi penerimaan dan pengeluaran dapat
mendukung pembangunan berkelanjutan. Reformasi fiskal yang tengah kita gulirkan
mestinya juga didasari oleh kepentingan melaksanakan pembangunan berkelanjutan.
Adapun aspek administrasi erat kaitannya dengan kemampuan organisasi dan
kemampuan manajerial untuk melaksanakan secara konsisten kebijakan yang ada.
Dalam hal ini koordinasi baik secara horizontal ataupun vertikal, baik di pusat
maupun daerah, ataupun antar pusat dan daerah, ataupun antar daerah, sangat
krusial untuk dilakukan.
Seringkali ego antar instansi dan juga antar
pemerintah pusat dan daerah membuat koordinasi untuk melaksanakan kebijakan
secara konsisten sulit untuk dilakukan. Aspek politik juga memegang peranan
penting dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Selain political will
untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan penting. Namun stabilitas politik
juga memegang peranan penting dalam hal ini. Untuk itulah perlu pembangunan
institusi dan juga perbaikkan pemerintahan untuk mensukseskan pembangunan
berkelanjutan. Sedangkan aspek etika dan budaya juga memegang peranan penting
dalam implementasi kebijakan pembangunan berkelanjutan. Itu semua menunjukkan
bahwa mengimplementasikan kebijakan pembangunan berkelanjutan tidaklah mudah.
Meski demikian tidak berarti tidak dapat dilakukan.
Pembangunan berkelanjutan tidaklah mudah
dilakukan oleh negara yang masih menghadapi banyak masalah ekonomi seperti
Indonesia. Beban hutang yang besar, kemiskinan dan pengangguran yang tinggi,
serta stabilitas ekonomi yang rapuh serta pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
rendah membuat pemerintah menghadapi tantangan besar dalam mengimplementasikan
kebijakan ekonomi berkelanjutan. Sementara itu kondisi keungan negara yang
berat, hutang luar negeri yang besar, serta fundamental ekonomi yang masih
rapuh, disertai dengan kualitas pertumbuhan ekonomi yang memburuk. Membuat
Indonesia akan mudah terjebak memilih kebijakan ekonomi yang cenderung
menguntungkan dalam jangka pendek. Khususnya dengan mengeksploitasi sumber daya
alamnya, ataupun memberikan kelonggaran yang lebih besar pada kegiatan ekonomi yang
berpotensi merusak lingkungan baik dari industrialis domestik ataupun asing. Pembangunan
berkelanjutan menjadi semakin mahal untuk diimplementasikan.