Produksi Biomassa Jamur Isaria fumosorosea
Pendahuluan
Pertumbuhan penduduk mendorong peningkatan
produktivitas pertanian untuk mencukupi kebutuhan pangan, namun dalam budidaya
pertanian sering dihadapkan pada permasalahan serangan hama. Menurut Oerke
& Dehne (2006), serangan hama dapat menurunkan produktivitas tanaman
sekitar 18%. Untuk mengatasi serangan hama, salah satu upaya yang dilakukan
adalah dengan penggunaan pestisida sintetis. Penggunaan pestisida sintetis
secara intensif pada tanaman menyebabkan timbulnya sejumlah efek yang tidak
diinginkan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Selain itu, peningkatan
resistensi dalam populasi serangga berdampak pada menurunnya efektivitas pestisida
itu sendiri (Vontas et al, 2011).
Dewasa ini terjadi peningkatan permintaan untuk
mengurangi input bahan kimia pada pertanian. Hal tersebut mendorong
pengembangan metode kontrol biologis sebagai alternatif penggunaan pestisida
sintetis, salah satunya adalah pengunaan jamur
entomopatogen (Lacey & Shapiro-Ilan, 2008). Jamur entomopatogen adalah
salah satu agen biokontrol untuk mengendalikan hama tanaman yang tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan (Rai et al.,
2014). Menurut Kim et al. (2010),
jamur Isaria fumosorosea adalah salah
satu jamur entomopatogen yang berpotensi sebagai agen biokontrol karena
mempunyai inang luas di berbagai serangga hama pada tanaman pertanian.
Untuk aplikasinya dalam pengendalian hama maka perlu
dilakukan produksi biomassa jamur Isaria
fumosorosea secara masal. Produksi biomassa jamur Isaria fumosorosea menghasilkan propagul
infektif, yaitu konidia atau blastospora. Ada beberapa metode untuk produksi
masal biomassa jamur ini, yaitu dengan fermentasi padat untuk menghasilkan
konidia dan fermentasi cair untuk menghasilkan blastospora (Jaronski &
Jackson, 2012). Kualitas dan kuantitas produksi biomassa jamur Isaria fumosorosea ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah
isolat, nutrisi, kepadatan inokulum, dan kondisi lingkungan (Mascarin et al., 2010). Untuk mendukung
keberhasilan produksi biomassa jamur Isaria
fumosorosea diperlukan optimalisasi produksi.
Potensi
Jamur Isaria fumosorosea sebagai
Bioinsektisida
Jamur Isaria
fumosorosea (sebelumnya disebut Paecilomyces fumosoroseus) tersebar luas
di seluruh dunia, serta dapat diisolasi dari berbagai artropoda (khususnya
lepidoptera), dari udara, air, tanaman, jamur lain, dan tanah. Faktor abiotik
yang berpengaruh terhadap perkecambahan, pertumbuhan vegetatif, dan viabilitas
jamur I. fumosorosea adalah suhu, kelembaban, dan radiasi matahari (Zimmermann,
2008). Menurut Mier et al. (2005),
jamur I. fumosorosea mempunyai
keunggulan jika dibandingkan dengan jamur entomopatogen lain, karena jamur ini
mampu menyebabkan kematian serangga hama dalam waktu yang relatif singkat serta
aman untuk manusia, hewan, dan tumbuhan.
Jamur I. fumosorosea
mempunyai host yang luas pada beragam kelompok serangga, antara lain
diptera, hemiptera, dan tipe serangga lainnya (Zimmermann, 2008). I. fumosorosea efektif untuk
mengendalikan hama aphid Diuraphis noxia dan Plutella xylostella
(Vandenberg & Cantone, 2004). Panyasari et
al., (2007) juga melaporkan bahwa
I. fumosorosea mampu mengendalikan
kutu kebul Bemisia tabaci degan
efektivitas 37-77%, thrips Ceratothripoides
claratris 80-93%, dan kumbang tepung Pseudococcus
cryptus 10-43%.
Isaria fumosorosea berperan penting
dalam pengendalian populasi hama tanaman, karena dapat menginfeksi hama dengan
menembus kutikula secara langsung dan tidak perlu tertelan dahulu oleh serangga
untuk menyebabkan infeksi (De-Faria & Wraight, 2001). Jamur ini
menghasilkan enzim protease, chitinase, chitosanase, dan lipase yang berperan
penting dalam degradasi kutikula dan penetrasi inang serangga hama (Ali et al.,
2010). Di dalam rongga tubuh inang, jamur I.
fumosorosea juga menghasilkan beavericin
yang berfungsi untuk melemahkan sistem kekebalan tubuh inang (Hajek &
Leger, 1994).
Produksi Biomassa Jamur
Isaria fumosorosea dengan Fermentasi
Padat
Pada fermentasi padat, jamur Isaria fumosorosea menghasilkan konidia
yang hidrofobik, lebih toleran terhadap desikasi atau pengeringan dan stabil di
lapangan (Feng et al., 1994). Konidia
dari I. fumosorosea memiliki warna coklat khas (Sanchez-Murillo et al., 2004). Hal ini dikaitkan dengan
melanins, pigmen yang dapat berperan dalam perlindungan terhadap cekaman
abiotik yang merugikan, seperti radiasi matahari terutama sinar UV, suhu
tinggi, desikasi atau pengeringan, lisis enzimatik, dan fungisida (Buttler
& Day, 1998)
Untuk
menghasilkan konidia ini, diperlukan substrat yang menguntungkan untuk produksi
biomassa yang mempunyai kandungan karbon dan nitrogen yang tinggi (Safavi et al., 2007). Di Brazil, substrat yang
biasa digunakan untuk produksi jamur entomopatogen pada fermentasi padat adalah
padi (Li et al., 2010). Menurut
Murillo-Alonso et al. (2015), optimalisasi
produksi biomassa I. fumosorosea dengan
fermentasi padat dapat dilakukan dengan mengganti substrat yang lebih murah dan
mudah didapatkan daripada substrat konvensional (padi). Untuk menentukan
kualitas dan virulensi konidia yang dihasilkan dari berbagai substrat,
dilakukan dengan cara mengaplikasikannya pada nimfa Bemisia tabaci, kemudian ditentukan prosentase kematian nimfa yang
terpapar oleh I. fumosorosea.
Produksi
Biomassa Jamur Isaria fumosorosea
dengan Fermentasi Cair
Pada fermentasi cair dihasilkan blastospora yang lebih
efektif menginfeksi serangga hama daripada konidia. Hal ini ditunjukkan dengan
blastospora lebih cepat berkecambah di kutikula Bemisia argentifolii jika dibandingkan dengan konidia (Vega et al., 1999). Menurut Jackson et al. (2003), keberhasilan dalam
fermentasi cair ditentukan dari waktu fermentasi yang cepat, hasilnya tinggi,
dan kestabilan blastospora dalam preparasi kering yang toleran terhadap
desikasi.
Untuk mengurangi biaya produksi,
optimalisasinya dapat dilakukan dengan cara menyediakan nutrisi dan penggunaan
inokulum yang tepat. Selain karbon dan oksigen, salah satu elemen nutrisi yang
dibutuhkan dalam medium fermentasi adalah nitrogen. Mengidentifikasi sumber
nitrogen yang berbiaya murah adalah salah satu cara untuk mengoptimalisasi
produksi biomassa jamur sebagai bioinsektisida (Mascarin et al., 2015).